Biografi Imam Asy-Syafi’i Imam Ahlus Sunnah

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.

NASAB BELIAU

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN

Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERTUMBUHANNYA

Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang

KECERDASANNYA

Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.

3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

MENUTUT ILMU

Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

GURU-GURU BELIAU

Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah

2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri

3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i

4. Sufyan bin Uyainah

5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas

2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany

3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

1.Mutharrif bin Mazin

2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.

2.Ismail bin Ulayah.

3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU

Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:

1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.

2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani

3. Ishaq bin Rahawaih,

4. Harmalah bin Yahya

5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi

6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

KARYA BELIAU

Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU

Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”

Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

PRINSIP AQIDAH BELIAU

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

PRINSIP DALAM FIQIH

Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH

Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”

Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”

Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

PESAN IMAM ASY-SYAFI`I

“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

WAFAT BELIAU

Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I

“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

Sumber: Majalah As-Salaam

Imam Bukhari : KEAJAIBAN DARI BUKHARA

Buta di masa kecilnya.
Keliling dunia mencari ilmu.
Menghafal ratusan ribu hadits.
Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.

Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.

Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.

Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”

Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.
Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.

Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah –ed) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, “ Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”.
Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af’aal Al Ibaad.

Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Sumber:
Siyar A’laam An-Nubala’ karya Al Imam Adz-Dzahabi dll

Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.
Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)
Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.
Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.
(Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)

Biografi Ringkas Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkhali

Nama dan nasab beliau:
Beliau adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi bin Muhammad ‘Umair Al-Madkhali, berasal dari suku Al-Madakhilah yang terkenal di Jaazaan, sebuah daerah di sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi. Suku ini termasuk keluarga Bani Syubail, sedangkan Syubail adalah anak keturunan Yasyjub bin Qahthan.

Kelahiran beliau:
Syaikh Rabi’ dilahirkan di desa Al-Jaradiyah, sebuah desa kecil di sebelah barat kota Shamithah sejauh kurang lebih tiga kilometer dan sekarang telah terhubungkan dengan kota tersebut. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 1351 H. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih berumur sekitar satu setengah tahun, beliau tumbuh berkembang di pangkuan sang ibu -semoga Allah Ta’ala merahmatinya. Sang ibu membimbing dan mendidik beliau dengan sebaik-baiknya, mengajarkan kepada beliau akhlak yang terpuji, berupa kejujuran maupun sifat amanah, juga memotivasi putranya untuk menunaikan shalat dan meminta beliau menepati penunaian ibadah tersebut. Selain pengasuhan ibunya, beliau diawasi dan dibimbing pula oleh pamannya (dari pihak ayah).

Perkembangan Keilmuan
Ketika Syaikh Rabi’ berusia delapan tahun, beliau masuk sekolah yang ada di desanya. Di sekolah tersebut beliau belajar membaca dan menulis. Termasuk guru yang membimbing beliau dalam belajar menulis adalah Asy-Syaikh Syaiban Al-‘Uraisyi, Al-Qadli Ahmad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali dan dari seseorang yang bernama Muhammad bin Husain Makki yang berasal dari kota Shibya’. Syaikh Rabi’ mempelajari Al Qur`an di bawah bimbingan Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali disamping belajar ilmu tauhid dan tajwid.
Setelah lulus, beliau melanjutkan studi ke Madrasah As-Salafiyyah di kota Shamithah. Termasuk guru beliau di madrasah tersebut adalah Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Faqih Nashir Khalufah Thayyasy Mubaraki rahimahullah, seorang alim kenamaan yang termasuk salah satu murid besar Asy-Syaikh Al-Qar’awi rahimahullah. Di bawah bimbingannya, Syaikh Rabi’ mempelajari kitab Bulughul Maram dan Nuzhatun Nadhar karya Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala.
Kemudian beliau belajar di Ma’had Al-‘Ilmi di Shamithah kepada sejumlah ulama terkemuka, yang paling terkenal adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Masyhur Hafidh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah Ta’ala dan saudaranya Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Hakami, juga kepada Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad bin Yahya An-Najmi hafidhahullah. Di ma’had tersebut beliau belajar akidah kepada Asy-Syaikh Al-’Allamah Doktor Muhammad Amman bin ‘Ali Al-Jami. Demikian pula kepada Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad Shaghir Khamisi, beliau mempelajari ilmu fikih dengan kitab Zaadul Mustaqni’ dan kepada beberapa orang lagi selain mereka, di mana Syaikh mempelajari ilmu bahasa Arab, adab, ilmu Balaghah dan ilmu ‘Arudl (cabang-cabang ilmu bahasa Arab-pent.)
Tahun 1380 H seusai ujian penentuan akhir, beliau lulus dari Ma’had Al-‘Ilmi di kota Shamithah dan di awal tahun 1381 H beliau masuk ke Fakultas Syari’ah di Riyadl selama beberapa waktu lamanya, sekitar satu bulan, satu setengah atau dua bulan saja. Ketika Universitas Islam Madinah berdiri, beliau pindah ke sana dan bergabung di Fakultas Syari’ah. Beliau belajar di Universitas tersebut selama empat tahun dan lulus darinya pada tahun 1384 H dengan predikat cumlaude.

Diantara guru-guru beliau di Universitas Islam Madinah adalah:
• Mufti besar Kerajaan Arab Saudi, Samahatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah Ta’ala, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari Aqidah Thahawiyah.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, mempelajari bidang ilmu hadits dan sanad.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad, mempelajari ilmu fikih tiga tahun lamanya dengan kitab Bidayatul Mujtahid.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah Al-Hafidh Al-Mufassir Al-Muhaddits Al-Ushuli An-Nahwi wal Lughawi Al-Faqih Al-Bari’ Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, penulis tafsir Adlwaul Bayan, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari ilmu tafsir dan ushul fikih selama empat tahun.
• Asy-Syaikh Shalih Al-‘Iraqi, belajar akidah.
• Asy-Syaikh Al-Muhaddits ‘Abdul Ghafar Hasan Al-Hindi, belajar ilmu hadits dan mushthalah.
Setelah lulus, beliau menjadi dosen di almamater beliau di Universitas Islam Madinah selama beberapa waktu, kemudian beliau melanjutkan studi ke tingkat pasca sarjana dan berhasil meraih gelar master di bidang ilmu hadits dari Universitas Al-Malik ‘Abdul ‘Aziz cabang Mekkah pada tahun 1397 H dengan disertasi beliau yang terkenal, berjudul Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni. Pada tahun 1400 H beliau berhasil menyelesaikan program doktornya di Universitas yang sama, dengan predikat ***** laude setelah beliau menyelesaikan tahqiq (penelitian, komentar –pent.) atas kitab An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash-Shalah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala.
Syaikh Rabi’ kemudian kembali ke Universitas Islam Madinah dan menjadi dosen di Fakultas Hadits. Beliau mengajar ilmu hadits dengan segala bentuk dan cabangnya, serta berkali-kali menjadi ketua jurusan Qismus Sunnah pada program pasca sarjana dan sekarang beliau menjabat sebagai dosen tinggi. Semoga Allah menganugerahkan kepada beliau kenikmatan berupa kesehatan dan penjagaan dalam beramal kebaikan.

Sifat dan akhlak beliau
Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala memiliki keistimewaan berupa sifat sangat rendah hati dihadapan saudara-saudaranya, murid-muridnya maupun kepada para tamunya. Beliau seorang yang sangat sederhana dalam hal tempat tinggal, pakaian maupun kendaraan, beliau tidak menyukai kemewahan dalam semua urusan ini.

Beliau adalah seorang yang selalu ceria, berseri-seri wajahnya dan sangat ramah, membuat teman duduk beliau tidak merasa bosan dengan kata-kata beliau. Majelis beliau senantiasa dipenuhi dengan pembacaan hadits dan Sunnah serta tahdzir (peringatan-pent.) dari kebid’ahan dan para pelakunya, sehingga orang yang belum mengenal beliau akan menyangka bahwa tidak ada lagi kesibukan beliau selain hal tersebut.

Syaikh Rabi’ sangat mencintai salafiyyin penuntut ilmu, beliau menghormati dan memuliakan mereka. Beliau berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sesuai kemampuan beliau, baik dengan diri sendiri maupun dengan harta. Rumah beliau selalu terbuka untuk para penuntut ilmu, sampai-sampai hampir tidak pernah beliau menyantap sarapan pagi makan siang maupun makan malam sendirian, karena selalu saja ada pelajar yang mengunjungi beliau. Beliau menanyakan keadaan mereka dan membantu mereka.

Syaikh Rabi’ termasuk ulama yang sangat bersemangat menyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta akidah salaf, penuh semangat dalam mendakwahkannya dan beliau adalah pedang Sunnah dan akidah salaf yang amat tajam, yang amat sedikit bandingannya di masa sekarang. Beliau adalah pembela Sunnah dan kehormatan salafus salih di jaman kita ini, siang dan malam, secara rahasia maupun terang-terangan yang tidak terpengaruh oleh celaan orang-orang yang suka mencela.

Karya-karya beliau
Syaikh Rabi’ memiliki sejumlah karya tulis -Alhamdulillah – beliau hafidzahullah telah membicarakan berbagai bab yang sangat dibutuhkan secara proporsional, terlebih khusus lagi dalam membantah para pelaku bid’ah dan para pengikut hawa nafsu di jaman yang penuh dengan para perusak namun sedikit orang yang berbuat ishlah (perbaikan, pent.) Diantara karya beliau :
1. Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni, sejilid besar dan ini merupakan thesis beliau untuk meraih gelar master.
2. An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash-Shalah, telah dicetak dalam dua juz dan ini merupakan disertasi program doktoral beliau.
3. Tahqiq Kitab Al- Madkhal ila Ash-Shahih lil Hakim, juz pertama telah dicetak.
4. Tahqiq Kitab At-Tawasul wal Wasilah lil Imam Ibni Taimiyyah, dalam satu jilid.
5. Manhajul Anbiya` fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql.
6. Manhaj Ahlis Sunnah fii Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
7. Taqsimul Hadits ila Shahih wa Hasan wa Dla’if baina Waqi’il Muhadditsin wa Mughalithatil Muta’ashibin, sebuah bantahan terhadap ‘Abdul Fatah Abu Ghuddah dan Muhammad ‘Awamah.
8. Kasyfu Mauqifi Al-Ghazali minas Sunnah wa Ahliha.
9. Shaddu ‘Udwanil Mulhidin wa hukmul Isti’anah bi ghairil Muslimin.
10. Makanatu Ahlil Hadits.
11. Manhajul Imam Muslim fii Tartibi Shahihihi.
12. Ahlul Hadits Hum Ath-Thaifah Al-Manshurah An-Najiyah hiwar ma’a Salman Al-‘Audah
13. Mudzakarah fil Hadits An-Nabawi.
14. Adlwa` Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi.
15. Matha’inu Sayyid Quthb fii Ashhabi Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
16. Al-‘Awashim mimma fii Kutubi Sayyid Quthb minal Qawashim.
17. Al-Haddul Fashil bainal Haq wal Bathil hiwar ma’a Bakr Abi Zaid.
18. Mujazafaatul Hiddaad.
19. Al-Mahajjatul Baidla` fii Himaayatis Sunnah Al-Gharra`.
20. Jamaa’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraathun Wahidun Laa ‘Asyaraat, hiwar ma’a ‘Abdirrahman ‘Abdil Khaliq.
21. An-Nashrul Aziiz ‘ala Ar-Raddil Wajiiz.
22. At-Ta’ashshub Adz-Dzamim wa Aatsaruhu, yang dikumpulkan oleh Salim Al-‘Ajmi.
23. Bayaanul Fasaadil Mi’yar, Hiwar ma’a Hizbi Mustatir.
24. At-Tankiil bimaa fii Taudhihil Milyibaari minal Abaathiil.
25. Dahdlu Abaathiil Musa Ad-Duwaisy.
26. Izhaaqu Abaathiil ‘Abdil Lathif Basymiil.
27. Inqidladlusy Syihb As-Salafiyyah ‘ala Aukaar ‘Adnan Al-Khalafiyyah.
28. An-Nashihah Hiyal Mas`uliyyah Al-Musytarakah fil ‘Amal Ad-Da’wi, diterbitkan di majalah At-Tau’iyyah Al-Islamiyyah
29. Al-Kitab was Sunnah Atsaruhuma wa makaanatuhuma wadl Dlarurah ilaihima fii Iqaamatit Ta’liimi fii Madaarisinaa, artikel majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah, edisi 16.
30. Hukmul Islam fii man Sabba Rasulallah au Tha’ana fii Syumuli Risaalatihi, artikel koran Al-Qabas Al-Kuwaitiyyah edisi 8576 tahun 9/5/1997.

Syaikh Rabi’ memiliki karya tulis lain di luar apa yang telah disebutkan di sini. Kita memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan-Nya untuk menyempurnakan usaha-usaha kebaikan yang beliau lakukan dan semoga Allah memberikan taufik kepada beliau kepada perkara-perkara yang dicintai dan diridlai-Nya, Dia-lah penolong semua itu dan maha mampu atasnya.

(Dinukil dari Mauqi’ Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah dengan sedikit perubahan)

(Dikutip dari terjemah buku karya Syaikh Abu ‘Abdillah Khalid bin Dlahwi Adz-Dzufairi, edisi Bahasa Indonesia Mengenal Lebih Dekat Asy Syaikh Rabi’ Bin Haadi al Madkhali, Sosok Ulama Pembela Sunnah Nabi. Diterjemahkan Ummu Affan, penerbit Media Ahlus Sunnah, Purwokerto)